Rabu, 07 April 2010

Kabupaten Lebak


Kabupaten Lebak adalah salah satu kabupaten penghasil produk pertanian. Kontribusi sektor pertanian pada pembentukan PDRB Lebak mencapai 38,16 persen dengan nilai ekonomi mencapai Rp 1,2 trilyun lebih. Karena produk pertanian tersebar di seluruh kecamatan, maka tak heran jika terlihat ada banyak pusat pertanian. Pusat pertanian buah seperti jambu, sawo, pepaya, nangka, belimbing, jambu air dan mangga terdapat di kecamatan Cibadak, Cimarga, Cileles, Malimping, Wanasalam, Bayah dan Cilograng. Wilayah wilayah ini mampu memproduksi buah-buahan jenis-jenis tersebut di atas rata-rata kecamatan lainnya. 


Adapun Kecamatan Rangkas Bitung, Wrunggunung, Sajira, Cipanas, Maja Curugbitung, Muncang, Leuwidamar, Bojongmanik, Banjarsari, Cijaku dan Cibeber merupakan wilayah yang sangat baik dijadikan pusat pengembangan alpukat, rambutan, duku, jeruk, durian, pisang, nanas, salak, sirsak dan manggis. Untuk klaster sayur-sayuran, sangat baik di kembangkan di Rangkas Bitung, Cibadak, Cipanas, Curug Bitung Cimarga, Banjarsari, Malimping, Wanasalam, Cijaku, Bayah dan Cilograng. 

Karet merupakan produk primadona untuk sektor perkebunan di daerah ini. Nilai ekonomi yang tercipta mencapai Rp 72,8 milyar. Demikian juga dengan kepala sawit. Nilai ekonomi kelapa sawit mencapai Rp 32,4 milyar. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah Lebak selain cocok untuk jenis tanaman holtikultura dan buah-buahan, juga baik untuk tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kakao dan kelapa. 

Dari subsektor perikanan, perikanan laut tetap menjadi primadona dengan nilai ekonomi mencapai lebih dari Rp 27 milyar. Sedangkan ikan darat memiliki nilai ekonomi lebih dari Rp 22,3 milyar. Jenis ikan darat yang banyak dikembangkan oleh penduduk setempat adalah jenis ikan sawah dengan nilai ekonomi lebih dari Rp 12,9 milyar, ikan kolam Rp 7,3 milyar dan ikan tambak Rp 1,5 milyar. 

Wilayah ini memiliki kekayaan budaya. Kekayaan budaya inilah yang terus dikembangkan menjadi bagian industri wisata yang diharapkan akan mendatangkan devisa. Jumlah kunjungan wisatawan asing ke Baduy misalnya, rata-rata perbulan 3 kali. Hal ini mengindikasikan bahwa wisata Baduy cukup dikenal di luar negeri. Adapun wisatawan lokal (dalam negeri) yang berkunjung ke Baduy mencapai 500 orang perbulannya. Tempat wisata yang paling banyak di kunjungi wisatawan lokal adalah Bagegur dengan jumlah 100.150 jiwa dalam satu tahun. 


Sumber:
http://www.cps-sss.org/web/home/kabupaten/kab/Kabupaten+Lebak

Sumber Gambar:
http://www.flickr.com/photos/willisrm/2838536051/
http://www.deptan.go.id/daerah_new/distanak_banten/PETA%20KAWASAN/horti%20lebak.jpg
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/cf/Locator_kabupaten_lebak.png
http://akumassa.files.wordpress.com/2009/01/lebak-pasar-pagi.jpg

Sejarah Kabupaten Lebak



Sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Banten, Kabupaten Lebak dengan luas Wilayah 304.472 Ha, sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kesultanan Banten.
Berkaitan dengan Hari Jadi Kabupaten Lebak yang jatuh pada tanggal 2 Desember 1828, terdapat beberapa catatan sejarah yang menjadi dasar pertimbangan, antara lain :

1.Pembagian Wilayah Kesultanan Banten

Pada tanggal 19 Maret 1813, Kesultanan Banten dibagi 4 wilayah:

- Wilayah Banten Lor
- Wilayah Banten Kulon
- Wilayah Banten Tengah
- Wilayah Banten Kidul

Ibukota Wilayah Banten Kidul terletak di Cilangkahan dan pemerintahannya dipimpin oleh Bupati yang diangkat oleh Gubernur Jendral Inggris (RAFFLES) yaitu TUMENGGUNG SURADILAGA.


2. Pembagian Wilayah Keresidenan Banten

Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 tahun 1828, Wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga) Kabupaten yaitu :
- Kabupaten Serang
- Kabupaten Caringin
- Kabupaten Lebak

Wilayah Kabupaten Lebak, berdasarkan pembagian diatas memiliki batas-batas yang meliputi District dan Onderdistrict yaitu :

a. District Sajira, yang terdiri dari Onderdistrict Ciangsa, Somang dan Onderdistrict Sajira,
b. District Lebak Parahiang, yang terdiri dari Onderdistrict Koncang dan Lebak Parahiang.
c. District Parungkujang, yang terdiri dari Onderdistrict Parungkujang dan Kosek,
d. District Madhoor (Madur) yang terdiri dari Onderdisrict Binuangeun, Sawarna dan Onderdistrict Madhoor (Madur).


3. Pemindahan Ibukota Kabupaten Lebak
Pada tahun 1851, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, Ibukota Kabupaten Lebak yang saat itu berada di Warunggunung dipindahkan ke Rangkasbitung. Pelaksanaan pemindahannya secara resmi baru dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 1851.


4. Perubahan Wilayah Kabupaten Lebak

Wilayah Kabupaten Lebak yang pada tahun 1828 memiliki District, dengan terbitnya Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Oktober 1828, Staatsblad nomor 266 tahun 1828, diubah menjadi :

- District Rangkasbitung, meliputi Onderdistrict Rangkasbitung, Kolelet Wetan, Warunggunung dan Onderdistrict Cikulur.
- District Lebak, meliput Onderdistrict Lebak, Muncang, Cilaki dan Cikeuyeup.
- District Sajira meliputi Onderdistrict Sajira, Saijah, Candi dan Maja.
- District Parungkujang, meliputi Onderdistrict Parungkujang, Kumpay, Cileles dan Bojongmanik.
- District Cilangkahan, meliputi Onderdistrict Cilangkahan, Cipalabuh, Cihara dan Bayah.

5. Tanggal 14 Agustus 1925
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 Kabupaten Lebak menjadi daerah Pemerintahan yang berdiri sendiri dengan wilayah meliputi District Parungkujang, Rangkasbitung, Lebak dan Cilangkahan.


6. Tanggal 8 Agustus 1950
Undang-undang Nomor 14 tahun 1950 tentang Pembentukan daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat.

Berdasarkan rangkaian sejarah tersebut kami berpendapat bahwa titi mangs tepat untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Lebak adalah tanggal 2 Desember 1828, dengan dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai berikut :

a. Tanggal 2 Desember 1828, berdasarkan Staatsblad Nomor 81 tahun 1828 merupakan titik awal pembentukan 3 (tiga) Kabupaten di wilayah bekas Kesultanan Banten dan nama Lebak mulai diabadikan menjadi nama Kabupaten dengan batas-batas wilayah yang lebih jelas sebagaimana tercantum dalam pembagian wilayah ke dalam District dan Onderdistrict (Kewedanaan dan Kecamatan). Walaupun terdapat perubahan nama dan penataan kembali wilayah District dan Onderdistrict tersebut, wilayah Kabupaten Lebak dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana tertuang dalam Staatsblad nomor 226 tahun 1828, Staatsblad nomor 381 tahun 1925 dan Undang-undang nomor 14 tahun 1950, merupakan wilayah Kabupaten Lebak sebagaimana adanya saat ini.

Sebelum adanya Staatsblad nomor 81 tahun 1828, selain nama Lebak belum pernah diabadikan batas wilayah untuk Kabupaten yang ada di wilayah Banten karena belum adanya kejelasan yang dapat dijadikan dasar penetapan.

b. Tanggal 2 Desember 1828 yang bertepatan dengan saat diterbitkannya Staatsblad nomor 81 tahun1828, tidak dijadikan dasar penetapan sebagai Hari Jadi bagi dua Kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Serang dan Pandeglang.

Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Lebak beserta seluruh aparat serta dukungan seluruh masyarakat Kabupaten Lebak melalui wakil-wakilnya di DPRD, telah berhasil menentukan Hari Jadi Kabupaten Lebak dengan lahirnya Keputusan DPRD nomor 14/172.2/D-II/SK/X/1986, yang memutuskan untuk menerima dan menyetujui bahwa Hari Jadi Kabupaten Lebak jatuh pada tanggal 2 Desember 1828 beserta rancangan peraturan daerahnya.


Sumber :
http://www.lebakkab.go.id/index.php?pilih=hal&id=6

Sumber Gambar:
http://arsip.banten.go.id/gambar/JB%205701-247%20(77).jpg
http://akumassa.files.wordpress.com/2009/04/rangkasbitung-pandeglang-labuan-1980.jpg

Kabupaten Lebak dan Sejarahnya



Kabupaten Lebak, adalah sebuah kabupaten di Provinsi BantenIndonesia. Ibukotanya adalah Rangkasbitung. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang di utara, Provinsi Jawa Barat di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Pandeglang di barat.

Kabupaten Lebak terdiri atas 28 kecamatan, yang dibagi lagi atas 315 desa dan 5 kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Rangkasbitung, yang berada di bagian utara wilayah kabupaten. Kota ini dilintasi jalur kereta api Jakarta-Merak.

Secara geografis wilayah Kabupaten Lebak berada pada 105 25' - 106 30 BT dan 6 18' - 7 00' LS. Bagian utara kabupaten ini berupa dataran rendah, sedang di bagian selatan merupakan pegunungan, dengan puncaknya Gunung Halimun di ujung tenggara, yakni di perbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten SukabumiSungai Ciujungmengalir ke arah utara, merupakan sungai terpanjang di Banten.

Baduy merupakan salah satu objek wisata yang dimiliki Kabupaten Lebak dan sering dikunjungi wisatawan mancanegara karena memiliki keunikan tersendiri.


Sejarah


Sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Banten, Kabupaten Lebak dengan luas Wilayah 304.472 Ha, sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kesultanan Banten. Berkaitan dengan Hari Jadi Kabupaten Lebak yang jatuh pada tanggal 2 Desember 1828, terdapat beberapa catatan sejarah yang menjadi dasar pertimbangan, antara lain :


Pembagian Wilayah Kesultanan Banten

Pada tanggal 19 Maret 1813, Kesultanan Banten dibagi 4 wilayah yaitu :

  • Wilayah Banten Lor
  • Wilayah Banten Kulon
  • Wilayah Banten Tengah
  • Wilayah Banten Kidul

Ibukota Wilayah Banten Kidul terletak di Cilangkahan dan pemerintahannya dipimpin oleh Bupati yang diangkat oleh Letnan Gubernur Inggris Raffles yaitu Tumenggung Suradilaga.


Pembagian Wilayah Keresidenan Banten

Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Nomor 1, Staatsblad Nomor 81 tahun 1828, Wilayah Keresidenan Banten dibagi menjadi 3 (tiga) Kabupaten yaitu :

  • Kabupaten Serang
  • Kabupaten Caringin
  • Kabupaten Lebak

Wilayah Kabupaten Lebak, berdasarkan pembagian diatas memiliki batas-batas yang meliputi District dan Onderdistrict yaitu :

  • District Sajira, yang terdiri dari Onderdistrict Ciangsa, Somang dan Onderdistrict Sajira,
  • District Lebak Parahiang, yang terdiri dari Onderdistrict Koncang dan Lebak Parahiang.
  • District Parungkujang, yang terdiri dari Onderdistrict Parungkujang dan Kosek,
  • District Madhoor (Madur) yang terdiri dari Onderdisrict Binuangeun, Sawarna dan Onderdistrict Madhoor (Madur)

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lebak
Sumber Gambar:
http://akumassa.files.wordpress.com/2008/12/3401564-rangkas_bitung_plaza-rangka.jpg

Peta Lebak


Lihat Peta Lebih Besar

Sepuluh Kecamatan di Lebak Endemis DBD

Sepuluh kecamatan di Kabupaten Lebak, Banten, dinyatakan sebagai wilayah endemis penyebaran penyakit demam berdarah dengue, akibat rendahnya tingkat kesadaran menjaga kebersihan lingkungan. "Selama tiga bulan terakhir ini jumlah penderita DBD mencapai 76 orang dan dua di antaranya dilaporkan meninggal dunia," kata Tien Suhartini, petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, Senin (29/3).

Entin, panggilan akrab Tien Suhartini, mengatakan, kesepuluh wilayah yang berpotensi menjadi tempat penyebaran (endemis) penyakit DBD itu meliputi Kecamatan Warunggunung, Rangkasbitung, Cibadak, Kalanganyar, Sajira, Cimarga, Binuangeun, Cikulur, dan Maja Lewidamar.

Untuk mencegah penyebaran, pihaknya terus mendorong masyarakat melaksanakan kegiatan kebersihan lingkungan dan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta pemberian abatesasi untuk membunuh jentik-jentik nyamuk DBD. Selama ini, pengasapan dinilai belum efektif karena hanya bisa membunuh nyamuk dewasa.

Dia juga mengatakan, saat ini penyebaran DBD sangat berpotensi menyerang warga karena musim hujan masih terjadi yang menyebabkan berkembangbiaknya nyamuk aedes aegepty. "Kami mengimbau masyarakat tetap waspada terhadap penyebaran penyakit DBD," ujarnya.

Menurut dia, selama tiga bulan terakhir jumlah penderita DBD di Kabupaten Lebak tercatat sebanyak 76 orang dan dilaporkan dua warga meninggal dunia. Korban terakhir yang meninggal dunia pada Februari 2010 warga Kecamatan Warunggunung. Kemudian tahun 2009 lalu, jumlah penderita DBD sebanyak 340 orang dan sepuluh dilaporkan meninggal dunia.(ADO/Ant)

Sumber :
http://berita.liputan6.com/daerah/201003/269935/Sepuluh.Kecamatan.di.Lebak.Endemis.DBD
29 Maret 2010

Sungai Ciwaru Tercemar Merkuri

Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Lebak, Banten, menemukan kandungan racun air raksa atau merkuri dan kopernisium (Cn) dalam air Sungai Ciwaru di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. 

Pencemaran diduga kuat disebabkan aktivitas penambangan emas tanpa izin di sungai setempat. Akibatnya masyarakat setempat kekurangan air bersih untuk keperluan sehari-hari. 

Hal ini terungkap setelah BPLH Lebak merilis hasil uji laboratorium terhadap kondisi air sungai tersebut, Rabu (7/4). Sungai Ciwaru merupakan sumber air utama ribuan warga setempat. 

Kepala Seksi Pencemaran Kerusakan Lingkungan dan Pengolahan Limbah BPLH Lebak Tohirin memaparkan sungai itu mengandung 1,07 Cn per milimeter kubik. Sedangkan kandungan normal kopernisium yang diatur dalam Permen LH Nomor 9 Tahun 2006 ialah 0,4 Cn per milimeter kubik. 

"Kami menemukan bahwa Sungai Ciwaru positif tercemar sejumlah limbah B3 khususnya mercuri dan kopernisium. Pencemaran itu menyebabkan hilangnya biota sungai di kawasan tersebut dan bagi manusia air dengan kandungan merkuri itu dapat merusak sistem syaraf," tutur Tohirin. 

Tubuh manusia akan kering hingga ke tulang bahkan paru-paru pun bisa kering. Selain itu, mata akan terkena iritasi hingga memerah. "Ciri-ciri orang yang sudah terkontaminasi B3 itu adalah badannya pucat, hidungnya terus terusan meler, mata memerah dan tubuh terlihat kering," jelasnya. 

Masyarakat setempat menduga, kandungan merkuri berasal dari aktivitas sejumlah penambang emas ilegal yang kerap beraktivitas di sekitar sungai. Sungai itu hampir setiap hari dikotori merkuri yang keluar dari mesin penambangan emas. 

Merkuri tergolong logam berat. Konsentrasi yang kecil saja dari logam ini telah bersifat racun. Logam ini menjadi berbahaya bila terakumulasi dalam tubuh manusia sehingga mengakibatkan keracunan, bahkan lebih fatal hingga berakibat kematian. 

Sekretaris Forum Komunikasi Pemuda Pakidulan E P Yudha bahkan mendesak Pemerintah Kabupaten Lebak menutup seluruh lokasi penambangan emas ilegal tersebut. Pihaknya pun sudah melaporkan hal itu pada pihak terkait lainnya. Sayangnya, laporan itu tak kunjung ditindaklanjuti. (RM/OL-06) 


Sumber:
Marlan Reinhard
http//www.mediaindonesia.com/read/2010/04/04/134416/123/101/Sungai-Ciwaru-Tercemar-Merkuri
4 April 2010

Lebak Kembangkan Budidaya SRI

 Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak, Banten, melalui Dinas Pertanian setempat sejak 2007 hingga kini terus mengembangkan teknologi penanaman budidayaSystem of Rice Intensification atau SRI untuk meningkatkan produksi pangan. 

"Produksi teknologi ini lebih besar dibandingkan penanaman konvensional," kata Kepala Seksi Tata Guna Lahan dan Dinas Pertanian, Kabupaten Lebak Rahmat Yuniar, Jumat (8/1). 

Rahmat mengatakan, saat ini produksi metode pengembangan penanaman budidaya SRI bisa mencapai 8,2 sampai 10 ton gabah kering pungut (GKP) per hektare, sedangkan sawah konvensional hanya 5,6 ton GKP per hektare. 

Oleh karena itu, kata dia, budidaya SRI ini dapat meningkatkan hasil produksi dua kali lipat, sehingga bisa memberikan kontribusi terhadap swasembada beras nasional. 

Pengembangan SRI di Kabupaten Lebak, kata dia, di antaranya Kecamatan Panggarangan, Cipanas, Muncang, Leuwidamar, Warunggunung dan Cibeber. 

"Penanaman pengembangan teknologi itu mencapai seluas 32 hektare," katanya. 

Menurut dia, teknologi SRI tidak dibatasi benih varietas apa pun. Mereka bisa menggunakan benih padi varietas Ciherang atau IR 64. Akan tetapi, pengembangan budidaya harus menggunakan penanaman metode SRI. 

Selain itu, teknologi SRI memiliki keunggulan yakni dapat menghemat air hingga 40-50% karena padi tidak perlu digenangi air secara terus menerus. 

Selanjutnya, sistem ini hanya membutuhkan benih padi antara 5-7 kg per hektare, sedangkan sistem non SRI membutuhkan 60-70 kg per hektare. 

Keunggulan lainnya, ujarnya, penggunaan waktu pun lebih hemat dan bibit dapat ditanam selama 5-12 hari setelah disemai, sementara sistem konvensional menunggu 25-30 hari setelah semai. 

"Saya kira teknologi SRI sangat menguntungkan karena musim panen lebih awal 10-15 hari dibanding konvensional terhitung masa persemaian," katanya. 

Dia menyebutkan, pihaknya optimistis pengembangan penanaman teknologi SRI di Kabupaten Lebak akan diminati petani, selain produksi gabah cukup tinggi juga biaya bisa menghemat. Sebab, teknologi SRI menggunakan pupuk nonorganik seperti kotoran ternak, kompos dan lainnya. 

"Saya kira petani bisa memanfaatkan kotoran ternak untuk dijadikan pupuk," katanya. 

Sementara itu, Ketua Kelompok Tani (Koptan) Kebon Tiwu, Desa Sipayung Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, H Diding mengaku, pihaknya merasa senang mengembangkan budidaya teknologi SRI karena setahun bisa tiga kali musim panen. 

"Sebelumnya, petani di sini hanya dua kali musim panen dan setelah menggunakan sistem SRI bisa mencapai tiga kali," katanya. (Ant/OL-7)


Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/01/09/116007/123/101/Lebak-Kembangkan-Budidaya-SRI
9 Januari 2010

Profil Kabupaten Lebak


Kabupaten Lebak beribukota di Rangkasbitung, secara geografis terletak antara 105o25 -106o30 BT dan antara 6o18 - 7o00 LS. Berbatasan dengan Kabupaten Serang disebelah utara, berbatasan dengan Samudera Indonesia disebelah selatan, berbatasan dengan Kabupaten Pandeglang disebelah barat, berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi disebelah timur. 

Luas wilayah Kabupaten Lebak 304.472 Ha.Secara administratif, Kabupaten ini terbagi menjadi dua puluh delapan Kecamatan dan 315 Desa dan lima Kelurahan. 

Kabupaten Lebak dikenal dengan suku badui dengan segala kekhasan dan keunikan hidupnya di peedalam sebelah selatan Banten. Lebak kaya akan sumber alam. Potensi higrologis di Lebak cukup menjanjikan. Daerah ini memiliki cukup banyak jumlah mata air yang mengalir sepanjang tahun dengan debit air yang lumayan besar. 

Beberapa sungai yang jadi andalan seperti sungai Ciujung, Ciberang, Cilaki. Kekayaan alam ini bisa mendukung kebutuhan irigasi pertanian dan air bersih bagi perkotaan. Di sektor pertambangan Lebak memiliki tambang emas yang produktif ini terletak di Desa Cikotok Kecamatan Bayan. 

Pengembangan pariwisata terutama dipesisir Samudera Hindia. Sepanjang Malingping sampai Bayah sejauh 40 Km memiliki pemandangan pantai berkarang yang mempesona. Daya pikat alamnya yang eksotis bisa menarik wisatawan, yang sudah tentunya menjadi pemasukan kas daerah. Pantai Badegur dengan hamparan pasir yang luas dan Pantai Karang Taraje bisa menjadi obyek wisata yang potensial.


Sumber Data: 
Banten Dalam Angka 2008
(01-10-2007)
PBS Provinsi Banten
Jl. Penancangan No.4 Serang 42124
Telp (0254) 202315
Fax (0254) 202315



Sumber :

http://regionalinvestment.com/sipid/id/displayprofil.php?ia=3602

20 Ribu Hektare Hutan di Lebak Kritis

Sedikitnya 20 ribu hektare hutan di Kabupaten Lebak, Banten, teridentifikasi lahan kritis sehingga perlu dilakukan gerakan rehabilitasi penghijauan untuk melestarikan hutan dan alam. 

Kepala Bidang Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan KabupatenLebak, Asep Mauladi, Selasa (5/5) mengatakan pihaknya saat ini berencana akan melakukan program penghijauan pada lahan kritis melalui program gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL). Program penghijauan tersebut sudah dilaksanakan sejak tahun 2003-2008 hingga sasaran mencapai 13.000 hektare. 

Pihaknya menargetkan setiap tahun lahan kritis di Kabupaten Lebak menurun sehingga perlu adanya program rehabilitasi penghijauan. Saat ini, lahan kritis yang masih luas tahun ini juga mendapat alokasi dana penghijauan dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Bahkan, dukungan pemerintah pusat yang melaksanakan melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) sudah menurunkan jumlah lahan kritis. 

Sepanjang tahun 2003 lalu, kata dia, lahan kritis di Kabupaten Lebak tercatat sebanyak 35 ribu hektare. Pada 2009 ini sudah menurun hingga mencapai 20 ribu hektare. "Dari 2003 sampai saat ini jumlah pohon yang ditanam di lahan kritis sebanyak tiga juta batang pohon," katanya. 

Ia menyebutkan, jenis bibit pohon yang ditanam di lahan gundul itu antara lain tanaman pulai, mahoni, jati, bambu, trembesi, sukun, albasia dan hortikultura. "Dengan adanya gerakan penanaman ini, sejumlah lahan gundul dan lahan kritis bisa ditanggulangi secara bertahap," ujarnya. 

Menurut dia, sejak GNRHL dilaksanakan hingga saat ini bencana alam seperti longsor dan banjir di Kabupaten Lebak relatif kecil. Program ini tentu sangat efektif untuk menanggulangi pelestarian hutan dan lahan "Saya berharap program penghijauan ini semakin gencar untuk melestarikan hutan dan alam," katanya. (Ant/OL-06) 

Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/05/05/73239/123/101/20-Hektare-Hutan-di-Lebak-Kritis
5 Mei 2009

Baduy



Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayahKabupaten LebakBanten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.

Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Asal-usul

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran(sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama BudhaHindu, danIslam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambuyang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

 

Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtupanamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik). Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panampingadalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Baduy Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

Pemerintahan

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Berkas:Struktur_pemerintahan_baduy.gif

Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtujaro dangkajaro tanggungan, dan jaro pamarentahJaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwacarik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).

Mata pencaharian

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Interaksi dengan masyarakat luar

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba keKesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

 

Sumber :

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Orang_Kanekes&oldid=2375056 



Sumber Gambar:

http://disbudpar.files.wordpress.com/2009/03/seba-baduy-041.jpg
http://praduwiratna.files.wordpress.com/2008/08/baduy.jpg